BENGKULU.WAHANANEWS.CO, Jakarta – Penerbitan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Regulasi yang membuka ruang penempatan anggota Polri aktif di 17 kementerian dan lembaga sipil tanpa mekanisme pensiun atau pengunduran diri dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai kebijakan tersebut mencerminkan sikap tidak taat hukum oleh institusi penegak hukum itu sendiri.
Baca Juga:
“Bahwa”: Kata Singkat Penata Keadilan
“Perpol ini jelas melawan putusan MK, melanggar hukum, dan memperlihatkan ketidaktaatan penegak hukum terhadap hukum itu sendiri secara terang benderang,” ujar Usman Hamid, Sabtu (13/12/2025).
Menurut Usman, Perpol 10/2025 merupakan upaya menyiasati Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
“Aturan ini adalah akal-akalan untuk menghindari putusan MK yang sudah jelas dan tegas,” katanya.
Baca Juga:
Muncul Usulan di Rapat RKUHAP, Hakim Disumpah Sebelum Baca Putusan
Ia mengingatkan bahwa MK sebelumnya telah membatalkan frasa dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang semula membuka ruang penugasan anggota Polri ke jabatan sipil berdasarkan keputusan Kapolri. MK menyatakan frasa tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Merujuk pada putusan MK itu, penugasan anggota Polri di luar institusi kepolisian berdasarkan keputusan Kapolri adalah inkonstitusional,” tegas Usman.
Lebih jauh, Usman menilai kebijakan ini berpotensi mencederai semangat reformasi 1998, khususnya prinsip supremasi sipil dan pembatasan peran aparat keamanan di ranah sipil.
“Peraturan ini menandai gejala kembalinya praktik dwifungsi, di mana aparat keamanan mulai kembali mendominasi ruang sipil,” ujarnya.
Ia juga menyinggung revisi Undang-Undang TNI yang sebelumnya dinilai membuka jalan bagi ekspansi militer ke jabatan-jabatan sipil. Kehadiran Perpol 10/2025, menurutnya, semakin memperkuat kecenderungan tersebut.
Selain itu, Usman menilai perluasan penempatan personel Polri melalui regulasi ini berpotensi mengaburkan mandat utama kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
“Alih-alih memperkuat profesionalisme penegakan hukum yang humanis, aturan ini justru mempertebal kekuasaan institusi Polri,” katanya.
Usman menegaskan, Perpol 10/2025 yang diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merupakan kemunduran serius bagi agenda reformasi dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
“Saya memandang Perpol ini sebagai kemunduran besar bagi semangat reformasi dan perlindungan HAM,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan potensi konflik kepentingan, terutama jika anggota Polri aktif ditempatkan di sektor-sektor strategis seperti agraria dan sumber daya alam.
“Kehadiran aktor keamanan aktif di jabatan birokrasi sipil berpotensi menormalisasi pendekatan keamanan dalam penyelesaian persoalan sipil, yang sering kali berujung pada tindakan represif terhadap masyarakat,” tutup Usman.
#UsmanHamidPerkap10-2025 #Perkap10-2025Akal-akalanKapolri
[Redaktur: Ramadhan HS]