“Peraturan ini menandai gejala kembalinya praktik dwifungsi, di mana aparat keamanan mulai kembali mendominasi ruang sipil,” ujarnya.
Ia juga menyinggung revisi Undang-Undang TNI yang sebelumnya dinilai membuka jalan bagi ekspansi militer ke jabatan-jabatan sipil. Kehadiran Perpol 10/2025, menurutnya, semakin memperkuat kecenderungan tersebut.
Baca Juga:
“Bahwa”: Kata Singkat Penata Keadilan
Selain itu, Usman menilai perluasan penempatan personel Polri melalui regulasi ini berpotensi mengaburkan mandat utama kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
“Alih-alih memperkuat profesionalisme penegakan hukum yang humanis, aturan ini justru mempertebal kekuasaan institusi Polri,” katanya.
Usman menegaskan, Perpol 10/2025 yang diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merupakan kemunduran serius bagi agenda reformasi dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
Baca Juga:
Muncul Usulan di Rapat RKUHAP, Hakim Disumpah Sebelum Baca Putusan
“Saya memandang Perpol ini sebagai kemunduran besar bagi semangat reformasi dan perlindungan HAM,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan potensi konflik kepentingan, terutama jika anggota Polri aktif ditempatkan di sektor-sektor strategis seperti agraria dan sumber daya alam.
“Kehadiran aktor keamanan aktif di jabatan birokrasi sipil berpotensi menormalisasi pendekatan keamanan dalam penyelesaian persoalan sipil, yang sering kali berujung pada tindakan represif terhadap masyarakat,” tutup Usman.