BENGKULU.WAHANANEWS.CO - Jakarta - Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dalam beberapa pekan terakhir kembali memunculkan pertanyaan besar: apakah ini murni bencana alam atau justru kegagalan tata kelola dan kepemimpinan?
Laporan analisis kebijakan dari Northbound Strategies menegaskan bahwa krisis ini bukan sekadar akibat cuaca ekstrem. Justru menjadi cermin retak dari sistem kebijakan yang tidak berjalan di lapangan, koordinasi pemerintah yang compang-camping, serta bottleneck yang tak kunjung terurai.
Baca Juga:
Alien Mus Nilai Saling Menyalahkan Tidak Etis Saat Tanggapi Banjir Bandang Sumatera
POLICY TANPA DELIVERY
Menurut analisis tersebut, banyak kebijakan lahir tergesa-gesa dan sarat konflik kepentingan. Akibatnya, instrumen mitigasi bencana yang sebenarnya sudah tersedia tidak pernah sampai kepada masyarakat dan daerah:
Peta risiko ada, tapi tak tersosialisasi
Baca Juga:
Besok, PMI Sumedang Salurkan Logistik untuk Warga Terdampak Bencana di Dua Kecamatan
Peringatan dini tersedia, tapi tak disampaikan ke Presiden
Aturan tata ruang jelas, tapi tak ditegakkan
Mitigasi diwajibkan, tapi tak dibangun dan disampaikan
Northbound Strategies menyebut kondisi ini sebagai policy failure yang berubah menjadi disaster failure.
SEMUA URUS, TAK ADA YANG PIMPIN
Bottleneck pertama yang disebut adalah lemahnya komando. Banyak lembaga terlihat berwenang, namun tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab.
Dampaknya:
Keputusan terlambat
Respon salah
Instruksi tumpang-tindih
Pasukan bergerak tanpa komando
Korban tidak terselamatkan
Northbound menyebut situasi ini sebagai:
“Shared Responsibility = Shared Confusion”
KOMUNIKASI MEMPERKERUH, BUKAN MEMPERJELAS
Dalam masa krisis, publik membutuhkan satu suara dan data tunggal. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya:
“Karena hujan ekstrem”
“Karena deforestasi”
“Karena siklus sungai”
“Situasinya tidak separah di media sosial”
Kegagalan otoritas mengendalikan komunikasi membuka ruang disinformasi dan perang narasi yang merugikan korban.
DATA ADA, TAPI TAK DISEBARKAN
Indonesia memiliki catatan lengkap tentang:
Titik rawan longsor
Kapasitas sungai dan kondisi DAS
Rekam deforestasi
Lokasi tambang ilegal
Namun data terhenti di meja birokrasi dan tidak turun ke publik maupun daerah, sehingga menghambat antisipasi cepat di lapangan.
“Dalam krisis, data yang tidak turun sama saja tidak ada.”
KEGAGALAN SISTEMIK: REGULASI BANYAK, EKSEKUSI MACET
Hambatan utama yang muncul antara lain:
Ego sektoral dan tumpang tindih kewenangan
Koordinasi pusat–daerah lemah
Proporsi anggaran tak seimbang
Ruang pelibatan publik minim
Komunikasi tidak standar
Bottleneck tidak pernah diurai
“The Institutional Disaster Behind The Natural Disaster”
REKOMENDASI STRATEGIS UNTUK NEGARA
Northbound Strategies mengajukan solusi taktis:
1. Bentuk National Crisis War Room
Satu komando — satu data — satu narasi — satu pusat keputusan
2. Aktifkan Delivery Unit Model
Memaksa eksekusi, memetakan hambatan real-time, memastikan K/L patuh timeline
3. K/L wajib membuka data kepada publik
Transparansi sebagai alat pengurangan risiko, bukan ancaman politik
4. DPR lakukan Disaster Policy Review
Audit kebijakan, bukan sekadar rapat formalitas
DARURAT PEMBARUAN SISTEM
“Krisis ini bukan sekadar air yang naik,” tulis laporan tersebut,
“tapi buah dari kebijakan yang macet, keberanian yang absen, koordinasi yang lemah, dan komunikasi yang kacau.”
Potensi bencana akan tetap ada.
Namun tragedi seperti ini seharusnya tidak perlu terulang.
[Redaktur: Ramadhan HS}