Bengkulu.WahanaNews.co | Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan alasan mengapa PLN kerap menolak pemasangan PLTS atap oleh pihak swasta sesuai dengan kapasitas listrik terpasangnya.
Padahal hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap, yang mengatur bahwa pemasangan pembangkit tersebut dapat disesuaikan dengan kapasitas maksimum yang terpasang dari PLN.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengakui bahwa permintaan para pelaku industri yang ingin memasang PLTS atap dengan kapasitas maksimum kerap ditolak PLN.
“Karena konsumen itu melihatnya 'Saya bisa masang 100%, sesuai kapasitas' tapi PLN melihatnya beda, 'Anda kebesaran kalau 100%’. Pemakaian PLTS atap di industri tidak sampai 100% atau sesuai dengan kapasitas terpasangnya,” kata Dadan dalam Energy Corner pada Senin (9/5/2022).
Dadan mencontohkan, ada suatu perusahaan yang berlangganan listrik PLN sebesar 10 megawatt (MW). Namun saat dilihat catatan penggunaan listriknya, perusahaan tersebut rata-rata hanya menggunakan 5 MW.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
“Apakah perusahaan tersebut bisa pasang PLTS atap 10 MW? Secara aturan bisa, tapi mereka tidak butuh 10 MW karena hanya pakai 5 MW. Nah PLTS atap itu prinsipnya untuk penggunaan pribadi,” sambung Dadan.
Hingga saat ini, ujar Dadan, PLN dan Dirjen Ketenagalistrikan masih dalam proses mengevaluasi Permen PLTS atap. Selain itu isu kelebihan kapasitas listrik PLN juga menjadi sebab mandeknya implementasi aturan tersebut di lapangan juga akan dievaluasi.
“Tidak dipungkiri bahwa PLN harus membayar dari kontrak listik yang sudah ada, mau dipakai atau tidak ini harus tetap dibayar. Ini angkanya cukup besar,” ujarnya. Simak target pemasangan PLTS atap pemerintah pada databoks berikut:
Rektor Institut Teknologi PLN, Iwa Garniwa, mengatakan masih ada sejumlah faktor yang menghambat implementasi PLTS atap. Selain kelebihan suplai listrik PLN, PLTS atap dirasa hanya akan mampu dijangkau oleh golongan pelanggan listrik rumah tangga di atas 3.300 VA.
Sebab biaya pemansangan PLTS atap mencapai Rp 14-17 juta per kWp. “Pola pikir masyarakat apakah sudah mau masuk ke situ? Walaupun harga dari PLTS murah, tentu rumah tangga yang bukan 3.300 VA ke atas yang daya belinya mampu membeli peralatan tersebut dan industri,” kata Iwa.
Menurut Iwa, pemerintah melalui PLN harus terlebih dulu mempersiapkan ekosistem sebelum memperluas penggunaan PLTS atap. Adapun persiapan ekosistem dapat dimulai dengan membangun infrastruktur pendukung untuk penerapan PLTS atap secara luas seperti pengadaan gardu distribusi.
“Ketika PLTS ini masuk, maka sebagian energi listiknya itu akan diambali oleh PLTS itu. Nah ini bisa saja menaikkan harga biaya pokok produksi yang berimbas pada naiknya harga listrik. Ini harus ada yang menanggungnya, maka subsidi listik akan ikut naik,” ujarnya.
Sebagai pembangkit listrik yang hanya bisa dimanfaatkan dalam waktu tertentu, PLTS atap perlu dilengkapi dengan pembangkit listrik lain seperti baterai yang digunakan sebagai penyimpan energi maupun listik yang berasal dari PLN.
"PLTS sangat bergantung pada cuaca dan iklim dan konsistensinya masih perlu disukung dengan Pembangkit listrik lain atau ditandem dengan baterai. sehingga kedepannya bagaimana kesiapan PLN untuk menghadapapi ini agar PLTS Atap bisa konstan dan stabil. Pertanyaannya PLN sudah siap belum?” tukas Iwa.[gab]