BENGKULU.WAHANANEWS.CO, Jakarta – Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2026 kembali memunculkan perdebatan klasik antara kepentingan buruh dan dunia usaha. Kenaikan UMP yang diproyeksikan menembus kisaran Rp5,35–5,5 juta disambut positif oleh pekerja, namun menuai kekhawatiran di kalangan pengusaha.
Pandangan Buruh: Upah Layak adalah Hak
Baca Juga:
UMP DKI Bakal Naik? Ini Perbandingan UMP DKI Jakarta 2024–2026
Serikat pekerja menilai kenaikan UMP 2026 merupakan kebutuhan mendesak, bukan kemewahan.
Mereka berargumen bahwa:
Biaya hidup di Jakarta terus meningkat
Harga pangan, sewa rumah, dan transportasi makin mahal
Upah minimum selama ini hanya cukup untuk bertahan, bukan sejahtera
Buruh juga menegaskan bahwa UMP adalah jaring pengaman dasar, bukan batas maksimum upah. Perusahaan dengan kemampuan finansial lebih baik dinilai tetap wajib memberikan upah di atas standar minimum.
Baca Juga:
Pengumuman UMP DKI Jakarta 2026, Perbandingan UMP DKI Jakarta dengan Provinsi Lain
Pandangan Pengusaha: Risiko PHK dan Efisiensi
Sebaliknya, asosiasi pengusaha mengingatkan bahwa kenaikan UMP berpotensi:
Menekan arus kas perusahaan
Memicu pengurangan tenaga kerja
Mendorong relokasi usaha ke daerah dengan upah lebih rendah
Sektor yang paling terdampak disebut berasal dari industri padat karya dan UMKM. Mereka meminta kebijakan pengupahan dibarengi insentif konkret agar perusahaan tidak terpaksa mengambil langkah ekstrem.
Pemerintah di Tengah
Pemprov DKI Jakarta menegaskan posisinya sebagai penengah. Pemerintah mengklaim formula pengupahan dalam PP Nomor 49 Tahun 2025 sudah mempertimbangkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan produktivitas.
Selain UMP, pemerintah juga menjanjikan insentif non-upah sebagai penyangga kesejahteraan pekerja
[Redaktur: Ramadhan HS]