Begnkulu.WahanaNews.co | Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat sidang paripurna di Istana Negara menyentil BUMN yang mendapatkan subsidi dari pemerintah tapi tak melakukan efisiensi, termasuk PT PLN (Persero). Menurut Jokowi subsidi jika tak diimbangi penghematan akan percuma.
Sekadar informasi beban subsidi energi tahun ini mencapai Rp 502 triliun. Besaran ini disebabkan pemerintah masih menjaga daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang baru tumbuh.
Baca Juga:
Jokowi Dikabarkan Kritis dan Masuk RS, Ternyata Cuma Video Lama di Malioboro
Menanggapi hal tersebut Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menyampaikan bahwa ada pesan implisit yang sebenarnya ingin disampaikan Jokowi. Misalnya, perusahaan harus segera melakukan transisi dari bahan bakar minyak ke energi yang berbasis listrik.
"Jelas sekali disampaikan oleh presiden bahwa beban subsidi yang semakin besar ini perlu segera diatasi. Di mana salah satunya adalah dengan segera mungkin kita melakukan transisi energi agar beban subsidi yang ditanggung pemerintah semakin berkurang," jelas Mamit dalam keterangannya, Sabtu (25/6/2022).
Dia menyebutkan jika beban subsidi berkurang maka dengan memperbanyak penggunaan peralatan dan kendaraan yang berbasis listrik akan mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan.
Baca Juga:
Tanpa Nama Jokowi, Tiga Kandidat Berebut Kursi Ketum PSI Via E-Voting 12–18 Juli
"Apalagi kita punya target mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 dan menuju bebas karbon pada 2060 yang akan datang. Kendaraan bermotor saat ini menyumbang emisi karbon sebesar 2,6 kg CO2/10 km sedangkan kendaraan listrik hanya 1,27 kg CO2/10 km," jelas Mamit.
Menurut dia hal ini bisa menjadi peluang bagi PLN untuk mengambil posisi yang strategis untuk menerjemahkan apa yang dimaksud Jokowi.
"Sebagai perusahaan yang besar dan satu-satunya di ketenagalistrikan maka PLN harus bisa mengambil momentum ini. Di tengah tekanan harga energi yang terus meningkat, pemerintah melindungi PLN dengan menjaga harga energi primer batu bara di angka US$ 70 per metrik ton sehingga bisa bernapas lega meskipun ICP terus mengalami kenaikan seiring naiknya harga minyak dunia," jelas Mamit.
PLN juga harus melakukan efisiensi untuk mengurangi beban subsidi dan kompensasi. Menurut dia, saat ini lini bisnis yang dilakukan oleh PLN cukup banyak dan besar sehingga kinerja PLN tidak fokus dan cenderung bertumpuk-tumpuk baik dari sisi kinerja maupun tanggung jawab.
"Penumpukan unit bisnis yang sama membuat kinerja PLN kurang optimal dan menyebabkan adanya double cost atau double handling membuat inefisiensi dalam unit bisnis PLN sendiri. Dari sisi tanggung jawab masing-masing unit bisnis juga melebihi dari yang seharusnya dan bahkan cenderung terjadi pengulangan satu sama lain," urai Mamit.
Saat ini menurut dia PLN memiliki beberapa anak perusahaan yang secara core bisnis sebenarnya sama. Hal ini menyebabkan adanya penumpukan unit bisnis dan tanggung jawab.
"Penumpukan ini suka tidak suka membuat PLN menjadi tidak efisien. Belum lagi terkait tanggung jawab, unit bisnis pembangkitan ini harus juga mengurusi pelayanan kepada masyarakat. Jadi, selain tidak efisien hal ini dapat menyebabkan kinerja unit pembangkitan tidak fokus dalam memberikan keandalan pasokan listrik," jelas dia.
Menurut dia, di tengah kondisi ekonomi dan bisnis global yang sudah berubah serta bergerak dinamis ini maka PLN harus segera melakukan transformasi bisnis mereka agar bisa bisa bersaing dan pastinya lebih efisien lagi.
"Transformasi dan perbaikan tata kelola bisnis PLN adalah keharusan yang mesti disegerakan agar PLN tetap bertahan di tengah kondisi ekonomi dan bisnis global yang dinamis dan sulit ini serta tetap menjalankan fungsi Public Service Obligation (PSO) sebagaimana yang diamanatkan oleh pemerintah," kata Mamit.
Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam dalam negeri harus bisa dioptimalkan dalam rangka menjaga kedaulatan dan ketahanan energi nasional. "Dengan demikian, kita tidak terpengaruh dengan situasi eksternal yang sewaktu-waktu bisa melambungkan harga energi seperti konflik Rusia dan Ukraina yang saat ini sedang berlangsung," jelas Mamit.
Dia juga menyarankan agar PLN bisa lebih lentur dan fleksibel dalam menghadapi tantangan yang demikian berat ini. Jika tidak, maka PLN bisa tertinggal dan tidak bisa menjalankan amanat yang disampaikan Presiden untuk lebih efisien, hemat dan mampu menutup yang kebocoran-kebocoran yang sudah terjadi.
"Saat ini semua perusahaan global sedang menuju ke arah bisnis yang modern, transparan dan pastinya menuju Environmental Social Governance (ESG). Melalui transformasi dan perbaikan tata kelola bisnis PLN, maka efisiensi yang minta Presiden bisa dicapai serta PLN tetap menjalankan bisnis mereka dengan tetap memperhitungkan Environmental Social Governance (ESG)," jelasnya.[gab]