Seretnya pasokan batu bara ini sebetulnya bukan persoalan baru. Awal tahun lalu, pemerintah sampai harus menutup keran ekspor untuk memastikan PLTU batu bara tetap menyala.
Kementerian ESDM pun memberlakukan kewajiban domestik market obligation (DMO). Setiap penambang, wajib menyetor 25% dari produknya kepada pasar lokal.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Realitanya tidak semudah itu. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan menyebut ada 71 perusahaan dari total 123 perusahaan yang tidak memenuhi kuota DMO. Bahkan hingga Juli, baru 52 perusahaan yang menyetor DMO dengan total 8 juta ton.
Arifin menjabarkan, sebanyak 5 perusahaan terkendala cuaca ekstrem, 12 perusahaan memproduksi batu bara dengan spesifikasi yang tidak cocok dengan kebutuhan PLN, 2 perusahan tambang belum beroperasi, dan 4 perusahaan mengklaim kesulitan mendapatkan sewa dan moda angkutan batu bara.
“Ada 48 perusahaan yang tidak melaporkan,” kata Arifin, pekan lalu.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Arifin menyebut, pemerintah akan memblokir fitur ekspor terhadap perusahaan yang alpa melakukan penugasan tanpa keterangan. Namun, ini saja tidak cukup. Sebab, sejumlah pelaku usaha justru memilih membayar denda agar bisa ekspor. Selisih harga di tingkat internasional dan lokal yang terlalu tinggi lagi-lagi menjadi penyebabnya.
Saking geramnya, Menteri Arifin bahkan mengancam akan kembali menyetop keran ekspor, jika penambang tidak bisa memenuhi kebutuhan domestik.
“Kewajiban ya kewajiban dulu,” katanya.