Masalah di atas, kata Tulus, akibat rendahnya minat membaca sehingga berdampak pada daya kesiapan masyarakat ketika memasuki ekonomi digital. Misalnya, ketika bertransaksi sering kali masyarakat tidak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku.
Padahal, Tulus menjelaskan, syarat memasuki era ekonomi digital salah satunya adalah minat baca masyarakat yang tinggi. Dengan minat baca yang tinggi, masyarakat akan dengan teliti memeriksa seluruh ketentuan dan persyaratan.
Baca Juga:
Terminal Kalideres Cek Kelayakan Bus AKAP Menjelang Nataru
"Kan sudah jelas, kalau kita menyalahkan masyarakat ya pasti salah. Karena apa, sejak awal literasi kita itu rendah baik literasi membaca buku apalagi literasi digital. Literasi membaca buku kita menurut PBB itu 1 banding 1000 apalagi literasi ditigal. Padahal prasyarat untuk memasuki ekonomi digital atau fintech itu adalah literasi digital yang memadai," bebernya.
"Nah rendahnya literasi itu yang bisa saya buktikan masyarakat ketika bertransaksi dengan fintech ataupun e-commers yang lain itu tidak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku, tidak membaca term and condition yang ada di kontrak elektronik itu," jelasnya.
Alhasil, dia mengatakan, banyak masyarakat yang tidak memahami baik dendanya seperti apa, cara pembayarannya, hingga sanksi bila terjadi tunggakan.
Baca Juga:
Ketum TP PKK Pusat Survei Persiapan Operasi Katarak di RSUD Kalideres
"Karena tidak membaca, ya karena dia tidak membaca online sistem. Langsung ya accept, accept, dan kemudian tidak tahu ihwal konsekuensi ketika dia nunggak denda harian seperti apa dan seterusnya terlepas persoalan legal atau ilegal," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Sekjen Asosiasi Fintech Indonesia dan CEO Investree, Dickie Widjaja menegaskan, akan menindak tegas anggotanya bilamana ada yang melakukan pelanggaran.
"Jadi kalau dari asosiasi sendiri bila ada laporan dari anggota kami yang sudah mendapatkan izin legal. Tetapi melakukan hal-hal yang kita bilang sama dengan ilegal, pasti kita coba proses," katanya.