Rektor Institut Teknologi PLN, Iwa Garniwa, mengatakan masih ada sejumlah faktor yang menghambat implementasi PLTS atap. Selain kelebihan suplai listrik PLN, PLTS atap dirasa hanya akan mampu dijangkau oleh golongan pelanggan listrik rumah tangga di atas 3.300 VA.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Sebab biaya pemansangan PLTS atap mencapai Rp 14-17 juta per kWp. “Pola pikir masyarakat apakah sudah mau masuk ke situ? Walaupun harga dari PLTS murah, tentu rumah tangga yang bukan 3.300 VA ke atas yang daya belinya mampu membeli peralatan tersebut dan industri,” kata Iwa.
Menurut Iwa, pemerintah melalui PLN harus terlebih dulu mempersiapkan ekosistem sebelum memperluas penggunaan PLTS atap. Adapun persiapan ekosistem dapat dimulai dengan membangun infrastruktur pendukung untuk penerapan PLTS atap secara luas seperti pengadaan gardu distribusi.
“Ketika PLTS ini masuk, maka sebagian energi listiknya itu akan diambali oleh PLTS itu. Nah ini bisa saja menaikkan harga biaya pokok produksi yang berimbas pada naiknya harga listrik. Ini harus ada yang menanggungnya, maka subsidi listik akan ikut naik,” ujarnya.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
Sebagai pembangkit listrik yang hanya bisa dimanfaatkan dalam waktu tertentu, PLTS atap perlu dilengkapi dengan pembangkit listrik lain seperti baterai yang digunakan sebagai penyimpan energi maupun listik yang berasal dari PLN.
"PLTS sangat bergantung pada cuaca dan iklim dan konsistensinya masih perlu disukung dengan Pembangkit listrik lain atau ditandem dengan baterai. sehingga kedepannya bagaimana kesiapan PLN untuk menghadapapi ini agar PLTS Atap bisa konstan dan stabil. Pertanyaannya PLN sudah siap belum?” tukas Iwa.[gab]