BENGKULU.WAHANANEWS.CO, Padang – Mencuatnya kasus dugaan pelanggaran etik yang melibatkan oknum pendidik di Kota Padang kembali membuka diskursus serius mengenai perlindungan siswa, khususnya dari sisi kesehatan mental dan pencegahan penyakit menular seksual (PMS), termasuk HIV/AIDS.
Dalam beberapa tahun terakhir, tren kasus HIV/AIDS di Kota Padang menunjukkan peningkatan signifikan, terutama pada kelompok usia produktif dan remaja. Data dari berbagai laporan kesehatan sebelumnya menunjukkan bahwa kurangnya edukasi, relasi kuasa yang timpang, serta minimnya layanan konseling dini menjadi faktor risiko utama.
Baca Juga:
Kasus Oknum Guru SMA 11: Pemerhati Ingatkan Jangan Abai, Pendidik yang "Belok" Bisa Jadi Bom Waktu Sosial
Siswa sebagai Kelompok Rentan
Siswa dan remaja merupakan kelompok yang rentan secara psikologis, terlebih jika berada dalam situasi relasi yang tidak seimbang dengan figur otoritas seperti guru atau orang dewasa. Tekanan mental, kebingungan identitas, rasa takut, hingga trauma jangka panjang dapat muncul, bahkan tanpa disadari oleh korban.
Psikolog pendidikan menilai bahwa pendekatan pemulihan (healing) harus dilakukan sedini mungkin apabila ada indikasi siswa mengalami tekanan psikis, manipulasi emosional, atau pengalaman tidak menyenangkan.
Baca Juga:
Beredar Undangan Pernikahan Oknum Guru SMA 11 Padang di Media Sosial, Wedding Syahrial-Leon Dipastikan Hoaks
“Pendampingan psikologis bukan untuk mencari siapa yang salah, tapi untuk memulihkan mental anak agar tidak membawa luka ke masa depan,” ujar seorang konselor pendidikan di Padang.
Pencegahan HIV/AIDS: Pendekatan Kesehatan, Bukan Stigma
Isu HIV/AIDS kerap dibungkus stigma dan penghakiman, padahal pendekatan kesehatan masyarakat justru menuntut keterbukaan, edukasi, dan pemeriksaan medis yang sukarela dan profesional.