Begnkulu.WahanaNews.co | Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat sidang paripurna di Istana Negara menyentil BUMN yang mendapatkan subsidi dari pemerintah tapi tak melakukan efisiensi, termasuk PT PLN (Persero). Menurut Jokowi subsidi jika tak diimbangi penghematan akan percuma.
Sekadar informasi beban subsidi energi tahun ini mencapai Rp 502 triliun. Besaran ini disebabkan pemerintah masih menjaga daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang baru tumbuh.
Baca Juga:
Usai Penetapan Presiden dan Wapres Terpilih Oleh KPU, Jokowi Minta Prabowo-Gibran Persiapkan Diri
Menanggapi hal tersebut Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menyampaikan bahwa ada pesan implisit yang sebenarnya ingin disampaikan Jokowi. Misalnya, perusahaan harus segera melakukan transisi dari bahan bakar minyak ke energi yang berbasis listrik.
"Jelas sekali disampaikan oleh presiden bahwa beban subsidi yang semakin besar ini perlu segera diatasi. Di mana salah satunya adalah dengan segera mungkin kita melakukan transisi energi agar beban subsidi yang ditanggung pemerintah semakin berkurang," jelas Mamit dalam keterangannya, Sabtu (25/6/2022).
Dia menyebutkan jika beban subsidi berkurang maka dengan memperbanyak penggunaan peralatan dan kendaraan yang berbasis listrik akan mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan.
Baca Juga:
Usai Disebut Bukan Kader PDIP Lagi, Gibran: Dipecat Juga Ngak Apa-apa
"Apalagi kita punya target mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 dan menuju bebas karbon pada 2060 yang akan datang. Kendaraan bermotor saat ini menyumbang emisi karbon sebesar 2,6 kg CO2/10 km sedangkan kendaraan listrik hanya 1,27 kg CO2/10 km," jelas Mamit.
Menurut dia hal ini bisa menjadi peluang bagi PLN untuk mengambil posisi yang strategis untuk menerjemahkan apa yang dimaksud Jokowi.
"Sebagai perusahaan yang besar dan satu-satunya di ketenagalistrikan maka PLN harus bisa mengambil momentum ini. Di tengah tekanan harga energi yang terus meningkat, pemerintah melindungi PLN dengan menjaga harga energi primer batu bara di angka US$ 70 per metrik ton sehingga bisa bernapas lega meskipun ICP terus mengalami kenaikan seiring naiknya harga minyak dunia," jelas Mamit.